“5 Alasan Mengapa Jokowi Sudah Pasti Kalah”

Berita201 Dilihat
jokowi maruf amin dan prabowo subianto sandiaga uno 722019
Ilus; Kolase Foto/Istimewa

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!
OPINI, SriwijayaAktual.com – Hingga hari ini kubu Jokowi dan komisioner Komisi Pemilihan Umum
(KPU) masih mencoba meyakinkan rakyat, Jokowi menang. Upaya ini seperti
menegakkan benang basah.
Publik sudah paham, menyaksikan sendiri, dan yang paling penting sangat meyakini Prabowo menang.
Secara de facto Indonesia sudah mempunyai presiden baru. Tinggal menunggu secara de jure.
Apa saja alasannya sehingga publikasi massif quick count manipulasi dan intimidasi pikiran ( mind games ) publik melalui aplikasi Situng KPU, tak ada gunanya.
Pertama, kalau sudah menang mengapa harus
curang? Alasan ini tidak bisa dibantah dengan dalih apapun. Kecurangan
rekapitulasi dengan modus menggelembungkan suara Jokowi dan mengempiskan
suara Prabowo ini terjadi sangat massif. Levelnya sudah tidak masuk
akal.
Dalam satu TPS suara pemilih maksimal hanya 300 orang. Namun kita
menyaksikan ada satu TPS di Bali jumlah pemilih Jokowi lebih dari 1.000
orang. Banyak juga rekap data pemilih menunjukkan Jokowi menang melebih
jumlah total suara pemilih, baik yang sah maupun tidak sah.
Meminjam istilah Rocky Gerung, hanya orang dungu yang percaya dengan kecurangan yang dungu semacam itu.
Kecurangan semacam ini tidak perlu terjadi, jika Jokowi benar menang.
Hanya akan mencoreng kemenangan Jokowi, dan memberi peluang Prabowo
menggugat.
Hanya ada satu alasan mengapa mereka melakukan kecurangan. Jokowi
kalah. Jadi agar bisa menang dengan perolehan suara 54 persen seperti
dikatakan sejumlah lembaga survei, agar bisa sesuai dengan Situng KPU,
kecurangan lah jawabannya.
Kedua, dari sisi teritorial banyak provinsi
yang semula dikuasai Jokowi, pada pilpres kali ini jatuh ke tangan
Prabowo. Pada Pilpres 2014 Jokowi menang di 24 provinsi. Sementara pada
Pilpres 2019 dia hanya berhasil menang maksimal di 16 provinsi.
Pada Pilpres 2014 Jokowi menang di Sumut, Jambi, Bengkulu, Lampung,
Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jateng, Yogyakarta, Jatim,
Bali, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra,
Sulbar, Maluku, Papua, Papua Barat plus Luar negeri.
Pada Pilpres 2019 Prabowo berhasil merebut Sumut, Jambi, Bengkulu,
Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalbar, Sulsel, Sultra, dan
Maluku.
Jokowi bisa tetap menang dengan syarat memperoleh suara di atas 70
persen untuk Jateng dan Jatim. Untuk Jateng itu bisa dilakukan. Mereka
bisa kontrol sepenuhnya. Di Kabupaten Boyolali misalnya, saksi Paslon 02
diintimidasi. Prabowo tidak mendapat suara sama sekali di banyak TPS.
Tapi untuk Jatim hal itu tidak mungkin dilakukan. Apalagi di Madura.
Ketiga perolehan Jokowi pada Pilpres 2014
hanya 53.15 persen. Angka itu diperoleh saat Jokowi sangat populer dan
banyak orang yang menggadang-gadangnya akan menjadi Ratu Adil.
Sebaliknya Prabowo saat itu tidakpopuler. Citranya buruk karena dirusak dengan berbagai kampanye hitam.
Kini posisinya terbalik. Jokowi ditolak dimana-mana, kampanyenya
selalu sepi dan terpaksa melakukan mobilisasi besar-besaran. Mereka
hanya mau datang bila dibayar.
Sebaliknya Prabowo menjadi figur yang diharapkan dapat mengubah
Indonesia. Kampanyenya meledak dimana-mana. Banyak yang Ikhlas
menyumbangkan uangnya untuk kampanye Prabowo.
Dibandingkan dengan Jokowi pada Pilpres 2014, antusiasme warga mendukung Prabowo pada pilpres kali ini jauh lebih gempita.
Bagaimana mungkin perolehan suara Jokowi bisa lebih tinggi
dibandingkan dengan Pilpres 2014. Sangat bertentangan dengan akal sehat
dan nalar publik.
Sebagai produk, Jokowi adalah produk gagal, “barang reject.” Jadi tidak mungkin perolehan angkanya melebihi Pilpres 2014. Pasti ada yang salah. Ini penghinaan terhadap akal sehat.
Sebagai bukti Jokowi adalah “barang reject,” dia kalah telak
di 8 dari 9 TPS di Kompleks Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres)
Jakarta Timur. Ini adalah bukti telak yang tidak bisa dibantah. Keluarga
pasukan paling dekat dan paling dipercaya Jokowi saja, emoh dengannya.
Keempat bila sudah menang mengapa Jokowi
sangat ingin bertemu dengan Prabowo. Mengapa Luhut menggunakan berbagai
cara untuk bisa bertemu Prabowo?
Seharusnya Jokowi bersabar, menikmati kemenangan. Tunggu sampai
tanggal 22 Mei2019 setelah KPU menyelesaikan rekapitulasi manual. Setelah
itu sebagai pemenang dia tinggal mengundang Prabowo. Tidak perlu
memohon-mohon, memuji-muji Prabowo seperti yang dilakukan oleh Luhut.
Kelima sampai saat ini belum ada satupun
kepala negara/kepala pemerintahan mengucapkan selamat atas kemenangan
Jokowi. Hal ini sangat berbeda dengan Pilpres 2014, saat itu sejumlah
kepala negara langsung menghubungi Jokowi dan memberi ucapan selamat.
Soal ucapan selamat kepada Jokowi ini sempat muncul upaya disinformasi melalui media. Salah satunya dilakukan oleh laman detik.com.
Pada hari Kamis (18 /4) pukul 16:47 WIB detik.com memuat berita dengan judul : Sudah 21 Kepala Negara Ucap Selamat ke Jokowi, Erdogan Juga akan Telepon.
Dalam berita itu dikutip seakan Jokowi sudah mendapat ucapan selamat atas kemenangannya. Wartawan detik.com bahkan melaporkan mereka menyaksikan dan mendengar sendiri ketika Jokowi menerima telefon dari PM Singapura Lee Hsien Loong.
“Dari obrolan tersebut, terdengar pembahasan hasil hitung cepat lembaga survei. ”Yes, ninety nine percent yes PM Lee,” kata Jokowi soal akurasi hitung cepat lembaga survei,” tulis detik.com.
Lucunya detik.com
juga menautkan video ketika Jokowi menerima telefon dari Lee. Sepanjang
percakapan Jokowi hanya menyampaikan kata-kata yang pendek. Thank you PM Lee. Thank you PM Lee. Disambung dengan kata-kata “ ya..ya.”
Satu-satunya kalimat yang cukup panjang diucapkan Jokowi —setelah tampak berpikir sejenak— “I will decide tomorrow”.
Silakan cek tautan detik.com berikut: 
https://news.detik.com/berita/d-4516379/sudah-21-kepala-negara-ucap-selamat-ke-jokowi-erdogan-juga-akan-telepon
Usut punya usut, telefon dari para kepala negara sahabat itu berupa
ucapan selamat kepada bangsa Indonesia karena berhasil melaksanakan
pemilu dengan sukses dan damai. Bukan ucapan selamat atas kemenangan
Jokowi. Hal itu adalah basa-basi tata krama biasa dalam pergaulan
internasional.
Sejumlah negara adidaya seperti Cina, Rusia, dan AS juga belum
mengeluarkan pernyataan resmi apapun soal hasil Pilpres Indonesia.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Morgan Ortagus melalui akun @Statedeptspox juga hanya menyampaikan ucapan selamat kepada bangsa Indonesia. Bukan Jokowi: Congratulations,
#Indonesia on completing national and legislative elections. The
spirited campaigns and robust participation by Indonesia’s public, civil
society, and media underscore the strength and the dynamism of
Indonesia #Democracy
.
Akun resmi Presiden @Jokowi mencuit: PM Singapura Lee Hsien Loong, PM
Malaysia Mahathir Mohamad, dan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan dan
sejumlah kepala negara, kepala pemerintahan negara sahabat telah
menelpon saya. Mereka menyampaikan selamat kepada rakyat Indonesia atas
Pemilu 2019 yang lancar dan damai.”
Clear akun resmi Jokowi juga tidak sama sekali menyinggung ucapan selamat karena sudah terpilih kembali.
Berita yang muncul di detik.com itu diduga semacam berita advetorial (iklan) dari TKN Jokowi-Ma’ruf. Di kalangan media dikenal dengan istilah native ads, alias konten berbayar.
Anggaran untuk operasi media dan penyebaran disinformasi semacam itu
sangat besar. Jadi tidak perlu kaget bila di media online nasional
banyak berita yang aneh-aneh.
Sekali lagi kalau memang sudah menang, ngapain sampai segitunya?
Hanya orang yang sudah kalah, orang panik, yang mau melakukan hal-hal aneh dan tidak masuk akal semacam itu. end. (*)

Oleh Hersubeno Arief (Wartawan senior dan pemerhati publik)

Baca Juga; Banyak Karangan Bunga Ucapan Selamat Jadi Presiden untuk Prabowo, Sekjen PDI-P Hasto: Duh Kebahagiaan Semu Belaka