![]() |
Ilustrasi |
Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Dosen FISIP UMJ
OPINI-SUARA PEMBACA, SriwijayaAktual.com – Mendengar pemberitaan terkait permintaan Luhut Binsar Panjaitan (LBP)
untuk bertemu Prabowo Subianto (PS), saya jadi teringat Perang Shiffin,
perang antara pasukan Muawiyah bin Abu Sofyan dengan Ali bin Abi Thalib.
Menyikapi permintaan LBP, PS disarankan oleh banyak tokoh untuk tidak
menerima LBP, karena dinilai lebih banyak madaratnya.
Perang Shiffin terjadi sebagai impact atas terbunuhnya Khalifah Usman
bin Affan. Saat itu Ali yang dibay”ah menjadi Khalifah pengganti Usman,
dinilai lambat dalam mengusut kematian Usman. Perang Jamal antara
pasukan Aisyah dengan pasukan Ali tak terelakan. Penyebabnya, Aisyah
juga menuding Ali lambat dalam mengusut kematian Usman. Suasana semakin
panas. Muawiyah (Gubernur Syam), sepupu Usman tak kunjung juga
memberikan bay”ah terhadap Ali.
Muawiyah satu-satunya gubernur yang tidak mau berbay’ah. Bahkan Muawiyah
mempolitisir kematian Usman, di mana jubah Usman yang berlumuran darah
digantung di Alun-Alun Damaskus sambil membangun opini bahwa Ali berada
di balik terbunuhnya Usman.
mempolitisir kematian Usman, di mana jubah Usman yang berlumuran darah
digantung di Alun-Alun Damaskus sambil membangun opini bahwa Ali berada
di balik terbunuhnya Usman.
Karena Muawiyah tak juga mau berbay’ah, Ali memutuskan untuk mengirm
pasukan guna memerangi Muawiyah. Rupanya Muawiyah meladeni dan menerima
tantangan Ali. Muawiyah “menyewa” mantan Gubernur Mesir, Amr bin Ash.
Sementara Ali memimpin langsung pasukannya. Akhirnya, kedua pasukan ini
bertemu di Bukit Shiffin dan pertempuran pun terjadi.
Pada pertempuran ini, pasukan Muawiyah menyerah sehingga pasukan Ali
bisa disebut mengalami kemenangan. Pada saat itu, selaku panglima
pasukan Muawiyah, Amr bin Ash mengangkat al-Qur’an diujung tombak
sebagai tanda menyerah.
Mengetahui Amr bin Ash menyerah, pasukan Ali yang berada di depan
(belakangan disebut Khawarij), meminta Ali untuk menghentikan
pertempuran. Namun sebaliknya, Ali tetap memerintahkan pasukannya untuk
terus berperang. “Saya kenal Amr bin Ash sejak kecil. Amr bin Ash itu
licik”.
(belakangan disebut Khawarij), meminta Ali untuk menghentikan
pertempuran. Namun sebaliknya, Ali tetap memerintahkan pasukannya untuk
terus berperang. “Saya kenal Amr bin Ash sejak kecil. Amr bin Ash itu
licik”.
Untuk diketahui, sebelum masuk Islam, Amr bin Ash adalah pemimpin
pasukan kafir Quraisy yang mengejar 13 sahabat, salah satunya Ali, yang
hijrah ke Habasyah (Ethiopia) yang rajanya Nasrani bernama Najasi, yang
dikenal adil. Karena desakan untuk menghentikan perang dari pasukan di
garis depan, akhirnya Ali pun menghentikan pertempuran.
Apa yang diperkirakan Ali benar terjadi. Menyerahnya Amr bin Ash
ternyata hanya siasat licik untuk mengajak Ali duduk di meja
perundingan. Bayangkan, sudah kalah masih pula mengajak berunding. Ali
pun terpaksa memasuki meja perundingan. Kubu Muawiyah tetap
mempercayakan Amr bin Ash sebagai juru runding, sementara Ali mengutus
Abu Musa al-Asy’ari. Hasil perundingan memutuskan untuk memakzulkan
Muawiyah dan Ali.
Ketika menyampaikan hasil perundingan, pihak Abu Musa diberi kesempatan
pertama. Sebagai ulama yang zuhud, qanaah, dan wara’, Abu Musa
menyampaikan hasil perundingan apa adanya, sesuai hasil perundingan.
Namun ketika tiba giliran Amr bin Ash, justru mereduksi secara luar
biasa, yaitu dengan mengatakan bahwa tadi Abu Musa sudah menyampaikan
bahwa Ali dimakzulkan, berarti sekarang tinggal seorang khalifah bernama
Muawiyah.
pertama. Sebagai ulama yang zuhud, qanaah, dan wara’, Abu Musa
menyampaikan hasil perundingan apa adanya, sesuai hasil perundingan.
Namun ketika tiba giliran Amr bin Ash, justru mereduksi secara luar
biasa, yaitu dengan mengatakan bahwa tadi Abu Musa sudah menyampaikan
bahwa Ali dimakzulkan, berarti sekarang tinggal seorang khalifah bernama
Muawiyah.
Kecewa dengan hasil perundingan, pasukan garis depan Ali (Khawarij)
akhirnya menyatakan keluar dari barisan Ali. Bukan hanya itu, Khawarij
juga menyatakan ingin membunuh pihak-pihak yang terlibat dalam
perundingan, termasuk Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash. Di antara ketiga
orang ini, Ali berhasil dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam.
Lalu apa kaitan Perang Shiffin dengan kondisi politik kekinian? Tentu
saja saya tidak bermaksud memposisikan Jokowi sebagai penggambaran
Muawiyah dan Prabowo sebagai penggambaran Ali atau misalnya
menggambarkan LBP seperti Amr bin Ash dan Joko Santoso (Ketua BTN)
seperti Abu Musa. Sama sekali tidak.
Poin keterkaitannya adalah soal kecurangan. Perang Shiffin dan peristiwa
tahkim adalah simbol kecurangan, pengkhianatan, dan sikap politik yang
nir-integritas. Seperti diketahui, menjelang Pilpres 2009, terjadi
Kesepakatan Batutulis, terutama poin 6, yang intinya bahwa pada Pilpres
2014 Megawati akan mendukung Prabowo menjadi calon presiden. Namun
dengan curangnya, Megawati mengkhianati Perjanjian Batutulis.
Jokowi, orang Solo yang budayanya dikenal penuh unggah ungguh, yang pada
Pilgub Jakarta 2012 didukung dan dibantu pembiayaannya oleh Prabowo,
dengan tanpa rasa sungkan dan nir-integritas “bersedia” berhadapan
dengan Prabowo. Hasil Pilpres 2014 yang sejatinya dimenangkan oleh
Prabowo, juga dirampok oleh Jokowi dan OGO. SS dan beberapa orang
lainnya yang sangat terbatas pasti tahu hal ini. Boleh saja Jokowi dan
OGO secara verbal membantah, tidak mengakui kalau dirinya merampas
kekuasaan Prabowo, tapi percayalah, hatinya pasti menjerit menyaksikan
kebohongan verbal Jokowi dan OGO.
Pilgub Jakarta 2012 didukung dan dibantu pembiayaannya oleh Prabowo,
dengan tanpa rasa sungkan dan nir-integritas “bersedia” berhadapan
dengan Prabowo. Hasil Pilpres 2014 yang sejatinya dimenangkan oleh
Prabowo, juga dirampok oleh Jokowi dan OGO. SS dan beberapa orang
lainnya yang sangat terbatas pasti tahu hal ini. Boleh saja Jokowi dan
OGO secara verbal membantah, tidak mengakui kalau dirinya merampas
kekuasaan Prabowo, tapi percayalah, hatinya pasti menjerit menyaksikan
kebohongan verbal Jokowi dan OGO.
Bayangkan, Pilpres 2014, ketika Prabowo hanya didukung parta-partai
pengusung dan sedikit relawan berhasil memenangkan Pilpres 2014, apalagi
pada Pilpres 2019, di mana Prabowo tidak hanya didukung oleh lima
partai pengusung, tapi juga ratusan relawan yang secara militan dan
ikhlas mendukung Prabowo-Sandi. Pasukan emak-emak (the power of
emak-emak) juga menjadi kekuatan tersendiri bagi Prabowo. Belum lagi
faktor Sandiaga Uno juga menjadi amunisi tersendiri untuk mendulang
dukungan bagi pasangan Prabowo-Sandi.
Untuk menghentikan laju kemenangan Prabowo di Pilpres 2019, tidak ada
pilihan kecuali berbuat curang. Karena curang menjadi satu-satunya cara
untuk memenangkan Jokowi, maka wajar kalau sebelum, saat maupun sesudah
pemilu, publik disuguhi tontonan bukti-bukti kecurangan pemilu yang
begitu telanjang dan demonstatif. Kecurangan yang terstruktur, sistemik,
massif, dan brutal. Fakta-fakta kecurangan ini sudah beredar luas di
masyarakat.
Dengan tingkat kecurangan yang luar biasa, maka saran agar Prabowo tidak
menerima atau menolak kehadiran LBP menjadi pilihan yang senafas dengan
akal sehat. Sebab kalau menerima LBP dan apalagi sampai terjadi
rekonsiliasi, maka sama halnya menyepakati segala tindak kecurangan yang
dilakukan kubu Jokowi.
Rekonsiliasi (islah) dalam konteks pemilu harus dibangun atas dasar
prinsip kejujuran dan keadilan (jurdil), bukan kecurangan. Kalau tidak,
maka tawaran islah dalam bentuk apapun harus ditolak oleh Prabowo, dan
saya meyakini Prabowo akan mengedepankan prinsip ini dalam berislah.
Kalau KPU tidak memproses segala bentuk kecurangan yang terstruktur,
sistemik, massif, dan brutal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,
maka bukan hanya tidak mau menerima LBP, kubu Prabowo harus secara
serius mempertimbangkan untuk tidak menandatangani hasil pemilu. Dan
sebagai bentuk penolakan atas hasil pemilu, aksi damai yang tertib dan
non-violance (semacam pepe di era kerajaan) dengan melibatkan ratusan
ribu dan bahkan jutaan masyarakat perlu dipertimbangkan menjadi opsi
selanjutnya untuk dilakukan. Sekian (Depok, 27/4/2019).[tsc]
Komentar