JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) kembali
meluncurkan buku terbaru berjudul “Akal Sehat”. Buku setebal 373 halaman
ini merupakan buku ke-15 yang ditulisnya. Buku ini berisi berbagai
pandangan, ulasan dan pikirannya atas berbagai peristiwa politik terkini
dari kurun waktu tahun 2017 hingga Agustus 2019.
meluncurkan buku terbaru berjudul “Akal Sehat”. Buku setebal 373 halaman
ini merupakan buku ke-15 yang ditulisnya. Buku ini berisi berbagai
pandangan, ulasan dan pikirannya atas berbagai peristiwa politik terkini
dari kurun waktu tahun 2017 hingga Agustus 2019.
“Sebelum resmi diluncurkan siang ini, pagi tadi saya sudah curi start
menyerahkan buku ini kepada Presiden Joko Widodo. Beliau menitip salam
untuk semua yang hadir dalam peluncuran,” ujar Bamsoet dalam peluncuran
buku “Akal Sehat Bambang Soesatyo”, di Posko Bamsoet, Jakarta, Rabu
(28/8/2019).
Hadir menjadi narasumber antara lain Anggota Komisi XI DPR RI Maruarar
Sirait, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) Rommo Benny Susetyo, dan Cendikiawan Muda Yudi Latif.
“Saya selalu teringat filosof Islam yang sangat masyhur, Imam Al
Ghazali, yang berpesan, “menulislah maka anda akan hidup selamanya”.
Sebagaimana pepatah latin, “verba volant scripta manent”, “yang
terkatakan akan lenyap sedang yang tertulis akan abadi”. Saya berharap,
tulisan-tulisan yang saya lahirkan ini kelak akan bisa menemani anak,
cucu, dan generasi bangsa tatkala saya sudah pergi menghadap Sang
Pencipta,” tandas Bamsoet.
Legislator Dapil VII Jawa Tengah yang meliputi Kabupaten Purbalingga,
Banjarnegara dan Kebumen ini menjelaskan, judul “Akal Sehat” pada
bukunya sangat relevan dan kontekstual dengan situasi saat ini. Dimana
akal sehat bangsa sedang diuji dengan dihadapkan pada dua pilihan,
apakah mampu berpikir jernih dan jujur, atau sebaliknya mengikuti
syahwat kekuasaan yang dibarengi dengan amarah dan kebencian terhadap
kelompok tidak sejalan.
“Ketika kita mampu berpikir jernih dan jujur, artinya kita lulus dalam
mengaktualisasi hakikat potensi manusia sebagai ciptaan Tuhan yang
paling mulia. Esensi ini pula yang membedakan manusia dengan hewan.
Sebaliknya, ketika kita terperosok ke dalam syahwat kekuasaan,
kemarahan, dan kebencian, itu sama saja meletakkan derajat diri kita
pada posisi di bawah derajat seekor hewan,” jelas Bamsoet.
Sebagai negara hukum dan demokrasi ketiga terbesar di dunia, Kepala
Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan Indonesia memberi kebebasan
berpendapat kepada setiap warga negaranya, sebagaimana dijamin dalam
Pasal 28 UUD 1945. Namun bukan berarti memberi ruang pada kebebasan
yang membabi-buta, melanggar norma dan menabrak keberagaman. Sehingga
memimpin tapi tidak menjadi teladan, mengkritisi tapi penuh caci maki,
bebas beropini tapi menciptakan hoaks. Bukan pula merayakan demokrasi,
tapi menolak toleransi.
“Bhineka Tunggal Ika adalah amanah yang perlu kita rawat sekaligus
diperkuat, sehingga siklus kehidupan kebangsaan dapat berjalan dengan
saling menghargai perbedaan dan terjalin persatuan. Inilah ikhtiar yang
mendesak untuk terus-menerus dilakukan,” terang Bamsoet.
diperkuat, sehingga siklus kehidupan kebangsaan dapat berjalan dengan
saling menghargai perbedaan dan terjalin persatuan. Inilah ikhtiar yang
mendesak untuk terus-menerus dilakukan,” terang Bamsoet.
Baca Juga: Babeh Ridwan Saidi Sebut Kerajaan Sriwijaya Fiktif, Apa Tanggapan Gubernur Sumsel? ini…
Mengutip data Badan Pusat Statistik 2018, Wakil Ketua Umum Pemuda
Pancasila ini menyampaikan terdapat 1.211 bahasa dan 1.158 diantaranya
adalah bahasa daerah. Teridentifikasi pula 1.340 suku di Indonesia. Suku
Jawa menempati posisi pertama yakni 41 persen dari total populasi.
Agama yang diakui terdiri atas agama Islam, Kristen, Protestan, Hindu
dan Budha. Karenanya, hidup di Indonesia bukan lantas meniadakan
keragaman itu, melainkan bagaimana kita mampu merajut keberagaman,
sehingga dapat tercipta harmoni kehidupan.
Pancasila ini menyampaikan terdapat 1.211 bahasa dan 1.158 diantaranya
adalah bahasa daerah. Teridentifikasi pula 1.340 suku di Indonesia. Suku
Jawa menempati posisi pertama yakni 41 persen dari total populasi.
Agama yang diakui terdiri atas agama Islam, Kristen, Protestan, Hindu
dan Budha. Karenanya, hidup di Indonesia bukan lantas meniadakan
keragaman itu, melainkan bagaimana kita mampu merajut keberagaman,
sehingga dapat tercipta harmoni kehidupan.
“Karenanya dalam buku “Akal Sehat” ini dengan tegas diuraikan kita tidak
boleh membiarkan politik identitas tumbuh subur, karena dapat menyulut
permusuhan dan mengancam persatuan serta kesatuan. Penggunaan politik
identitas sangat bahaya bagi sebuah negara yang multikultural dengan
berbagai etnis, suku, ras, agama, dan budaya, seperti halnya Indonesia,”
terang Bamsoet.
Baca Juga: Babeh Ridwan Saidi: Iyo…Mano Buktinyo Lur Kalau Beno Nian Ado Kerajaan Sriwijaya 🙂
Dewan Pakar KAHMI ini tak segan mengingatkan, kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam dua dekade pasca reformasi dihadapkan pada tantangan
menipisnya nilai-nilai keadaban demokrasi. Nilai-nilai keadaban itu
berupa kejujuran, partisipasi, gotong royong, toleransi dan musyawarah.
bernegara dalam dua dekade pasca reformasi dihadapkan pada tantangan
menipisnya nilai-nilai keadaban demokrasi. Nilai-nilai keadaban itu
berupa kejujuran, partisipasi, gotong royong, toleransi dan musyawarah.
“Sistem nilai yang selama ini terwariskan sejak lama, nyatanya semakin
luntur akibat semakin menguatnya arus globalisasi dan modernisasi,
sebagai efek negatif dari kemajuan teknologi informasi. Dari itulah,
buku ini berusaha menyelamatkan akal sehat kita, agar tetap waras dan
tak terjebak dalam jurang kegilaan,” pungkas Bamsoet.[tsc]
Komentar