Menyoal ‘DWIFUNGSI’ POLRI !!!

Polisi%2BIMG 20180128 WA0010%25281%2529
JAKARTA, SriwijayaAktual.comPemilihan Kepala Daerah (Pilkada)  secara serentak telah diselenggarakan sejak
tahun 2015 dengan beragam kendala dan keberhasilan yang dapat dijadikan
pelajaran. Pada perhelatan Pilkada 2018 ini, sebanyak 171 daerah, yang
terdiri atas 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten, akan
menyelenggarakan Pilkada serentak
pada tanggal 27 Juni 2018. Beberapa provinsi di antaranya adalah Jawa
Barat dan Sumatera Utara. Khusus kedua provinsi tersebut, masa jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur akan habis pada 13 Juni 2018 untuk Jawa
Barat dan 17 Juni 2018 untuk Sumatera Utara. Dengan demikian, maka
terdapat kekosongan jabatan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur di kedua
provinsi tersebut.
Kekosongan jabatan dimaksud, sesungguhnya juga telah diatur di dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada (UU Pilkada)
bahwa dalam terjadi kondisi yang demkian, akan diangkat penjabat
Gubernur. Di dalam Pasal 201 ayat (10) disebutkan bahwa posisi penjabat
Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan
pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Jabatan pimpinan tinggi madya ini merupakan ASN yang
berasal dari Kementerian Dalam Negeri atau daerah yang bersangkutan.
Namun, secara mengejutkan, Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
mengeluarkan wacana untuk menjadikan unsur kepolisian sebagai pelaksana
tugas atau penjabat Gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut,
baik disebabkan petahana yang cuti mengikuti Pilkada maupun karena
berakhirnya masa jabatan kepala daerah sebelum pilkada berlangsung.
Padahal,
amanah reformasi tegas menyatakan di antaranya untuk menghapuskan
dwifungsi ABRI. Maknanya, tidak hanya untuk memastikan netralitas TNI
sebagai pemegang kuasa konstitusional yang menjaga pertahanan negara,
tapi juga netralitas Polri
yang bertanggung jawab terhadap keamanan negara. Reformasi yang telah
berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut,
seyogyanya tidak ditarik mundur oleh penguasa sipil.
Atas dasar
itu, kami dari Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum
Universitas Indonesia menyatakan bahwa jabatan penjabat Gubernur dari
unsur kepolisian bertentangan dengan UU Pilkada dan konstitusi RI serta berdampak pada pudarnya netralitas Polri sebagai amanat dari reformasi.
Pertama,
jabatan pelaksana tugas atau penjabat Gubernur harus berasal dari
jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil
sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada. Wacana Mendagri
untuk menunjuk perwira tinggi Polri yang masih aktif sebagai penjabat
Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara merupakan wacana yang tidak
berdasarkan hukum yang justru telah mencederai semangat reformasi.
Kedua, Mendagri
merujuk kepada Permendagri No. 1/2018 tentang cuti di luar tanggungan
negara bagi kepala daerah, namun Permendagri tersebut justru
bertentangan dengan materi muatan UU Pilkada. Di dalam Pasal 4 ayat (2)
Permendagri tersebut memuat norma yang menyatakan bahwa yang menjadi
penjabat Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat
di lingkup pemerintah pusat/provinsi. Dari dasar inilah kemudian
Mendagri mengasumsikan bahwa perwira tinggi Polri merupakan jabatan yang
setingkat dengan pimpinan tinggi madya. Padahal, di dalam ketentuan UU
Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan
tinggi madya saja yang dapat menjadi penjabat Gubernur.
Ketiga, wacana menjadikan perwira tinggi Polri
yang masih aktif untuk menjadi pelaksana tugas atau penjabat Gubernur
merupakan langkah mundur proses reformasi yang telah bergulir selama
hampir 20 tahun ini. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 ayat (1) dan
(3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan apabila terdapat
anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian maka itu dapat
dilakukan setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Artinya, bila Mendagri ingin mengusulkan perwira tinggi sebagai
pelaksana tugas atau penjabat Gubernur harus mengusulkan polisi yang
telah pensiun atau telah mengundurkan diri dari dinas kepolisian. Dengan
demikian, netralitas Polri tetap terjaga dan tidak menimbulkan
“dwifungsi” Polri sebagaimana dwifungsi ABRI pada zaman Orde Baru.
Keempat,
penunjukan pelaksana tugas atau penjabat Gubernur dari unsur kepolisian
secara tidak langsung menjadikan daerah tersebut nyaris serupa dengan
daerah darurat sipil. Bila mengacu kepada UU Nomor 23/Prp/1959 tentang
Keadaan Bahaya maka diatur mengenai darurat sipil. Di dalam Pasal 4 ayat
(1) dan (2) dijelaskan bahwa Presiden menetapkan Penguasa Darurat Sipil
Daerah (PDSD) yang terdiri atas Kepala Daerah yang dibantu oleh seorang
komandan militer tertinggi, seorang kepala Polri,
dan seorang pengawas/kepala kejaksaan di daerah tersebut. Padahal,
seperti diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara sedang
dalam kondisi damai serta terkendali, tanpa potensi gangguan keamanan.
Oleh
karena itu, PSHTN menganggap bahwa wacana Mendagri tersebut justru
berpotensi menimbulkan suasana yang tidak kondusif untuk berlangsungnya pilkada di daerah yang bersangkutan.

Berita Terkait: Jenderal Polri Dijadikan Plt Gubernur, ‘Jokowi sedang Konsolidasi Kekuatan Pilpres 2019’

Atas pertimbangan tersebut, kami mendesak Presiden untuk tidak menerbitkan Keputusan Presiden mengenai pelaksana tugas atau penjabat Gubernur
dari kalangan non sipil (TNI/Polri). Hal ini agar semangat reformasi
yang mengutamakan supremasi sipil dan telah berlangsung selama hampir 20
tahun ini tetap terjaga.
PSHTN FHUI juga mengingatkan kembali
kepada Pemerintah untuk senantiasa mengelola negeri ini sesuai dengan
koridor hukum yang berdasarkan Konstitusi. Jangan sampai kebijakan yang
diputuskan oleh Pemerintah justru menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia. [***] 
Rilis Media
Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) 
JAKARTA, 26 Januari 2018.
Oleh: Mustafa Fakhri, Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI)




Spesial Untuk Mu :  Hahaha...Gokil Unik! Pasangan Pengantin ini Menikah Pakai Mahar “Knalpot Racing”

Komentar