Revisi UU KPK Perkuat Pencegahan & Pemberantasan Korupsi

Berita137 Dilihat
Foto/Istimewa

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!
JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Revisi Undang-undang (RUU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
baru dianggap memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Bahkan RUU yang
mengatur soal Dewan Pengawas dan SP3, merupakan pasal-pasal yang
mengedepankan transparansi dan menjamin keberlangsungan hak asasi
manusia (HAM).
Pengamat hukum Slamet Pribadi mengatakan, Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang KPK telah berusia 17 tahun. Selama penerapan
Undang-undang tersebut oleh lembaga super body itu, kata Slamet, korupsi
di negara ini masih merajalela.
“Korupsi tidak kunjung habis di republik ini, berarti dalam hukumnya
atau lembaga hukumnya, atau juga penegakan hukumnya. Ada sesuatu yang
perlu dilakukan perbaikan sana-sini. Kalau revisi itu dihubungkan dengan
Revisi UU KPK, maka semangat dan tujuannya adalah agar KPK lebih kuat
dan lebih independen,” papar Slamet saat dihubungi wartawan, Rabu
(9/10/2019).
Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara ini menambahkan, KPK
harus lebih maju cara penindakan dan pencegahannya dari pelaku rasuah.
Karena itu, mengingat perkembangan sosial yang cepat dan dinamis, maka
Undang-undang yang berusia 17 tahun harus diubah.
“Di sisi lain KPK memanfaatkan uang negara, dan uang donatur dari
Kebijakan Nasional Sistem Keuangan Negara, maka KPK harus bisa diaudit
oleh siapa saja, baik oleh negara melalui lembaga-lembaga yang berwenang
untuk itu, termasuk DPR,” jelas dia.
Di samping itu, dewan pengawas merupakan usulan terbaik agar KPK
kuat, independen dan transparan. Pengawas harus benar-benar paham soal
korupsi dari sisi teknis, taktis, maupun yuridis, tidak harus
orang-orang yang mengerti hukum, tapi bisa juga pihak lain yang jujur
serta memahami tujuan keberadaan KPK.
“Pengawas yang kuat dan kredibel akan berkontribusi dalam pembangunan
hukum dari sisi hukumnya, kelembagaan hukumnya, penegak hukumya, sarana
dan prasarana hukumnya terhadap KPK yang kuat,” jelas dia.
Termasuk juga surat penghentian penyidikan (SP3) yang fungsinya
menjamin setiap warga negara mendapat haknya sebagai manusia. Dalam
perkara pidana, tidak boleh ada seseorang yang menjadi tersangka seumur
hidup atau tanpa kejelasan perkaranya. Menurut dia hal itu merupakan
pelanggaran HAM, karena statusnya itu menyanderanya dalam berbagai aspek
kehidupan
“Yang bersangkutan mau mengurus semua administrasi apa pun bisa cacat
hukum, karena masih tersangka. Negara melalui para penegak hukumnya
mengekang seseorang tanpa batas, karena posisinya masih tersangka,
bahkan bisa juga yang bersangkutan bisa sampai meninggal dunia tetap
masih menjadi tersangka,” jelas dia.

Baca Juga: Oktober, Ribuan Mahasiswa Kembali Akan ‘Serbu’ DPR Desak Jokowi Keluarkan Perppu KPK

Mengenai polemik Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu), kata Slamet, hal itu merupakan hak presiden dan tidak boleh
diintervensi siapa pun. Namun Slamet mengingatkan bahwa RUU KPK yang
baru ini cukup membawa kemajuan terhadap lembaga antirasuah itu. [indotimes]