JAKARTA, SriwijayaAktual – Terdakwa kasus korupsi sekaligus suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis lagi-lagi jadi sorotan publik. Bukan hanya kasus korupsi PT Timah yang menyebabkan negara merugi Rp300 triliun, diduga dia dan istrinya terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan PBI.
Hal ini diungkap dalam akun X @irwndfrry, memperlihatkan foto dua kartu BPJS tersebut. Dalam unggahannya, tercantum nama Sandra Dewi dan Harvey Moeis tercatat dalam Faskes I Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
“Jangan galak-galak ke mereka gaes, mereka fakir miskin yang ditanggung pemerintah,” tulis akun tersebut dalam unggahannya, dilihat Sabtu (28/12/2024).
Jangan galak-galak ke mereka gaes, mereka fakir miskin yang ditanggung pemerintah pic.twitter.com/7dt604te5K
— Biji Besi Olahan (@irwndfrry) December 28, 2024
Asal tahu saja, ada dua ketegori kepesertaan dalam BPJS Kesehatan yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya ditanggung pemerintah atau peserta non-PBI.
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan alias PBI adalah kepesertaan BPJS yang di dalamnya adalah orang yang tergolong fakir miskin. Peserta juga bisa dari kalangan orang tidak mampu menurut data Dinas Sosial.
Adapun biaya iuran bulanan BPJS Kesehatan PBI tak dibebani ke peserta, namun ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Kemudian peserta BPJS PBI hanya dapat berobat di fasilitas tingkat 1 puskesmas kelurahan atau desa.
Pantesan hukumannya ringan. Pasti moral dari hakim tidak tega kalau terlalu lama dihukum, secara mereka masih hidup dibawah garis kemiskinan
— Pekerja Galak (@BgsStratmja) December 28, 2024
Kalau KTP mereka Jakarta, mereka otomatis dibayar dari APBD dengan fasilitas PBI itu. Jadi bukan karena miskin, tapi karena mereka gak daftar BPJS. Justru ini PR dari BPJS gimana caranya orang kaya mau bayar BPJS supaya gak PBI lagi.
— Angga PF (@AnggaPutraF) December 28, 2024
Akibat temuan kesalahan JKN PBI tersebut, tenaga kesehatan yang harus mengembalikan insentif yg telah mereka terima untuk mengembalikan kerugian negara pic.twitter.com/hLK55ae8Xw
— Arif (@ArifLabMed) December 28, 2024
PBI ini emang masih kacau bang, saudara sy di rawamangun satu komplek perumahan semuanya dapet PBI..
Padahal termasuk komplek rada elit.
Mereka ga daftar sendiri, tp udah dikasih langsung dr rt atau kades gitu lupa..— acak (@icik___) December 28, 2024
Tapi emang aneh kok @BPJSKesehatanRI ini, tetangga gue banyak yg modelan begini, giliran yg miskin beneran malah ga dpt jatah PBI, ga ngerti lagi sama negara bobrok ini, dari atas ke bawah smua bobrok @prabowo @Gerindra
— mikha namaka (@mikhanamaka) December 28, 2024
Besok kalau mau priksa jdi gak malu lagi, ntr kalau ditanya “BPJS-nya yg PBI atau umum mas?”
“PBI dong kayak Sandra Dewi”— ThanAli (@NathanAliChamp) December 28, 2024
Sebelum geger soal dugaan kepesertaan BPJS PBI, Harvey memang sudah disorot publik lantaran putusan ringan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap dirinya. Divonis 6 tahun 6 bulan penjara di kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp300 triliun.
Vonis ini dianggap banyak pihak mencederai rasa keadilan. Pengamat hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyatakan putusan pidana ringan bukan saja tida akan bisa beri efek jera kepada koruptor, tapi juga mencoreng penegakan hukum di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Ya, pasti tidak adil. Jadi hukuman itu tidak menjerakan selama hasil (korupsi) yang didapat itu bisa untuk 3 atau 4 generasi,” kata Fickar saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Rabu (25/12/2024).
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah alias Castro menegaskan putusan tersebut membahayakan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Castro menyatakan, alasan majelis hakim yang menilai sikap sopan Harvey selama persidangan, tidak bisa dijadikan pertimbangan hingga memangkas setangah masa hukuman yang dituntut jaksa.
“Alasan yang mengemuka kan ya hakim menyatakan bahwa Harvey selama persidangan bersikap sopan, dia masih punya tanggungan keluarga dan belum pernah di hukum. Menurut saya jangan sampai kemudian petimbangan itu menjadi pertimbangan mengurangi hukuman, padahal itu kan bukan hal yang substansial, ujarnya kepada Inilah.com, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (24/12/2024).
Mengetuk Nurani Hakim Pengadilan Tinggi
Pengamat hukum pidana dari Universitas Bina Nusantara (Binus), Ahmad Sofian mengapresiasi langkah jaksa ajukan banding atas vonis ringan Harvey Moeis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Namun dia mengingatkan jaksa harus persiapkan argumentasi hukum yang kuat jika ingin menang di proses banding.
“Aspek yang menentukan yaitu kekuatan argumentasi hukum jaksa dalam menyatakan bahwa Hakim di tingkat pertama salah atau keliru dalam menjatuhkan vonis,” kata Sofian sebagaimana saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Sabtu (28/12/2024).
Selain argumentasi dan bukti yang kuat, tutur dia, jaksa juga harus bisa menuangkannya dengan penjelaskan yang meyakinkan ke dalam memori banding, agar majelis hakim di tingkat pengadilan tinggi bisa mematahkan vonis sebelumnya.
“Aspek lain, adalah seberapa kuat pertimbangan hukum hakim pengadilan tinggi dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa,” ucap Sofian.
Dia mengatakan, jika majelis hakim pengadilan tinggi peduli dalam pemberantasan korupsi seharusnya mau mengkoreksi putusan tersebut. “Dan mengubah putusan lalu memutus kan sendiri dengan vonis yang lebih berat,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung, Sutikno mengatakan pihaknya akan segera mengajukan banding atas vonis ringan 6,5 tahun yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, terhadap terdakwa korupsi timah Harvey Moeis. Sutikno menilai ada ketimpangan hukum dari vonis tersebut.
“(Alasan) satu, putusannya terlalu ringan ya khusus untuk pidana badannya,” ujar Sutikno kepada wartawan, di Jakarta, dikutip Sabtu (28/12/2024).
Sutikno mengaku heran hakim hanya mempertimbangkan peran pelaku. Dia menyoroti, hakim yang tidak mempertimbangkan dampak perbuatan pelaku terhadap masyarakat Bangka Belitung.
“Dari situ nampak kelihatan hakim ini hanya mempertimbangkan peran mereka, para pelaku. Tetapi hakim nampaknya belum mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan dampak yang diakibatkan oleh mereka terhadap masyarakat Bangka Belitung,” katanya. (*)
Komentar