ssssttt..Fokus Menyimak: “Debat Fahri Hamzah dan Mahfud MD Soal OTT KPK”

Mahfud%2BMD%2BVs%2BPahri

JAKARTA, SriwijayaAktual.com – Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah berdebat dengan mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD di media sosial Twitter mengenai Operasi Tangkap Tangan (OTT)
dan penyadapan yang dilakukan KPK.
Perdebatan berawal saat Fahri mengomentari kicauan Mahfud MD yang
mengatakan KPK selalu dicari salahnya, Sabtu (16/9) lalu. Saat itu Fahri
mempersoalkan istilah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK.
Fahri mempertanyakan kepada Mahfud dari pasal berapa istilah OTT diambil
dan dari undang-undang apa.
Pertanyaan Fahri lantas dijawab Mahfud MD.
“Ada itu, Pak Fahri. Itu Pasal 1 butir 19 UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP)
ada definisi “tangkap tangan”. Pelaksanaan Pasal 1 butir 19 itulah
OTT,” kicau Mahfud dalam akun Twitternya @mohmahfudmd.
Fahri lantas membalas istilah tangkap tangan (TT) memang ada di
KUHAP, namun dia mempersoalkan istilah OTT ada di UU mana dan pasal
berapa.
“Tangkap Tangan (TT) ada di KUHAP tapi: Operasi Tangkap Tangan (OTT)
ada di mana? Ini istilah hukum kita enggak boleh ngarang,” kicau Fahri
di akun Twitternya @Fahrihamzah.
Sehari kemudian, Fahri berkicau Mahfud MD perlu membuat tulisan
tentang istilah OTT KPK dan legalitas penyadapan pasca keputusan MK
membatalkan pasal penyadapan dalam UU ITE pada 24 Februari 2011 silam.
Fahri menyebut sesungguhnya semua ahli hukum bertanggungjawab atas
penggunaan pasal yang dinilainya tidak ada dalam UU yakni OTT.
“Tetapi prof @mohmahfudmd paling bertanggungjawab karena keputusan
membatalkan pasal penyadapan dalam UU ITE dibaca beliau,” kicau
@Fahrihamzah, Minggu (17/9/2017) lalu.
Selain meminta pertanggungjawaban akademik Mahfud, Fahri juga
menyatakan bahwa OTT yang dilakukan KPK adalah ilegal. Fahri kemudian
mengingatkan Mahfud atas keputusan sidang MK yang saat itu dipimpin
Mahfud membatalkan Pasal 31 (4) UU ITE No 11 Tahun 2008.
Saat itu, kata Fahri, sebelum membacakan amar putusan, dalam
pertimbangannya, MK mengutip putusan MK sebelumnya tertanggal 19/12/2006
dan 30/3/2004. Intinya menyatakan bahwa pembatasan melalui penyadapan
harus diatur dengan UU guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang
melanggar HAM.
“MK memandang perlu pengulangan karena penyadapan dan perekaman
pembicaraan merupakan pembatasan terhadap HAM. #OTTKPK,” kicau
@Fahrihamzah.
Di tengah perdebatan soal OTT dan penyadapan KPK, Mahfud berkicau
soal banyak yang dulu galak menjatuhkan Soeharto dari kekuasaan karena
KKN tapi kini menjadi koruptor atau pendukungnya. Mahfud menyebut
oknum-oknum tersebut dulu berjuang dengan alasan “reformasi” untuk
menumpas KKN ternyata hanya ingin mendapat bagian kesempatan untuk
korupsi.
“Ternyata, banyak yang dulu galak menjatuhkan Pak Harto karena KKN
sekarang jadi koruptor atau pendukungnya. Gila, reformasi diartikan
gantian korupsi,” kicaunya, Senin (18/9).
Kicauan Mahfud itu langsung ditanggapi Fahri. Fahri mempertanyakan bagaimana bisa Mahfuf membuat kesimpulan seperti itu.
“Bagaimana bisa bikin kesimpulan dangkal begini prof? Serang idenya prof jangan serang pribadi orang,” kicau Fahri.
Tiga hari kemudian, Mahfud MD pun angkat bicara. Dalam kicauannya
hari ini, Kamis (21/9), mantan Menhan di era Presiden Gus Dur itu
menjawab semua kicauan Fahri.
Soal pertanyaan Fahri mengenai dasar hukum OTT dan diatur di dalam
hukum apa, Mahfud menyatakan ketentuan dan definisi ‘tangkap tangan’
diatur dengan jelas di dalam Pasal 1 Butir 19 KUHAP dan itu menjadi
dasar KPK.
“Mungkin kaget lalu Pak Fahri mendebat bahwa di KUHAP itu yang ada
tangkap tangan, bukan operasi tangkap tangan. Jadi tidak ada kata
“operasi”, kicaunya.
Mahfud mengaku kaget mengapa yang dipersoalkan adalah istilah
‘operasi’, bukankah yang penting adalah unsur-unsurnya. Menurutnya,
istilah operasi bisa diganti ‘melakukan’ atau ‘melaksanakan’.
Mahfud menyatakan jauh sebelum Fahri menjadi politikus, sejak zaman
Belanda, operasi (tindakan, melakukan) tangkap tangan sudah dilakukan,
sesuai KUHAP.
“Adnan Buyung Nasution dkk juga sudah pernah menulis itu dengan
jelas. Bahkan dalam tulisan ABN disebut di banyak negara itu sudah
dilakukan,” kicaunya.
Kemudian, soal Fahri meminta tanggungjawabnya karena telah mengetok
palu membatalkan Pasal 31 (4) UU ITE No 11 Tahun 2008, Mahfud menyatakan
Fahri harus membacanya baik-baik. Karena, vonis MK yang dibacakannya
itu “melarang” dilakukannya penyadapan tanpa pengaturan di dalam UU dan
itu mutlak, harus diikuti.
“Lah, Pak Fahri menyoal @KPK_RI yang menyadap terduga. Katanya
bertentangan dengan vonis MK yang melarang penyadapan. Itu letak
salahnya,” katanya.
“Pak Fahri, @KPK_RI itu melakukan penyadapan justru sesuai dengan
vonis MK bahwa menyadap itu harus berdasar UU. Pak Fahri sudah membaca
UU?” tanya Mahfud.
Mahfud menjelaskan Pasal 12 (1) UU No 30 Tahun 2002 mengatur bahwa
dalam penyelidikan dan penyidikan KPK berwenang melakukan penyadapan.
Dia lantas menyindir jangan-jangan Fahri tidak membacanya.
Karenanya, Mahfud menegaskan mempertanggungjawabkan secara akademis
dan yuridis bahwa vonis MK sudah benar: “Tak boleh menyadap tanpa
pengaturan di dalam UU”.
“Dalam kaitannya dengan KPK melakukan penyadapan itu sudah benar
karena Pasal 12 Ayat (1) UU-KPK memang sudah mengaturnya. Mau didebat
lagi?,” tanyanya.
“Kita tak perlu berdebat, misal, bilang mengatur dan berwenang itu
beda. Nanti bisa ditertawai banyak orang, atau, hanya dijawab, “Hahaha,
hehehe”, kicaunya.
Sementara soal pejuang Reformasi yang disebut Mahfud kini justru korupsi, Mahfud mengaku akan menulisnya di media.
“Oh, ya, Pak Fahri. Soal pejuang reformasi yang ternyata korupsi
juga, nanti saya tulis di koran. Itu makalah 6 tahun lalu dan dikutip
media-media”.
“Sekian, ya, Pak Fahri. Saya sering bicara umum, tak nyebut orang,
tapi yang tiba-tiba marah Pak Fahri. Kok baper-an sih? Tapi saya suka
pada Anda,” kicau Mahfud. (ak/mdk/*)

Spesial Untuk Mu :  Netizen Menyesal Lihat Foto Nafa Urbach, Hingga Ucapkan: Yang Kayak Gini kok Masih Diselingkuhin!

Komentar