![]() |
Mbah Rebo sedang ngontel sepedanya |
PONOROGO-JATIM, SriwijayaAktual.com – Kata siapa orang disabilitas tidak bisa hidup
normal? Mbah Rebo (80), warga jalan Glagah, RT 003/RW 003, Desa
Sukorejo, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur (Jatim), membuktikannya.
Kala
itu, Minggu (15/1/2017) siang, mbah Rebo bercelana kolor hitam berbaju
batik berwarna cokelat panjang dan kepala ditutupi peci hitam
mengendarai sepeda kayuh di jalan Desa Sukorejo, Ponorogo.
Cara mengendarai sepeda kayuh Mbah Rebo yang terlihat renta ini
berbeda dari kebanyakan orang. Mbah Rebo tidak menggunakan tangan untuk
memegang setang untuk mengendalikan sepeda kayuh itu.
Mbah Rebo
hanya menggandalkan bahu untuk mengendalikan laju sepedanya dengan kaki
terus mengayuh pedal sepeda yang juga sudah berusia renta. Kemudian, dia
pun memarkir sepeda kayuhnya di pinggir bangunan dan segera masuk ke
salah satu warung kopi di Desa Sukorejo.
Awak media
mencoba menyapanya dan mengajak bersalaman, Rebo atau Mbah Rebo hanya
menundukkan kepala dan berkata bahwa dirinya tidak bisa bersalaman
karena tidak memiliki tangan. “Saya tidak memiliki tangan mbak. Jadi
menyapanya hanya menunduk saja,” katanya membuka perbincangan.
Pun
saat ingin meminum, Mbah Rebo juga mengandalkan kakinya. Dia mengaku
awalnya memang banyak yang menganggap dirinya tidak sopan. Namun, lanjut
dia, akhirnya orang-orang tahu kekuranggannya.
“Amit yo mbak
[permisi ya mas],” kata Mbah Rebo sambil mengangkat kakinya di meja dan
menggerakan jari kakinya untuk memegang cangkir berisi kopi panas.
Meski
tidak memiliki tangan sejak lahir, namun, Mbah Rebo merupakan salah
satu orang yang serba bisa di kampungnya. Mbah Rebo terkenal sebagai
pekerja seni seperti ludruk dan ketoprak, pemanjat pohon kelapa yang
andal, dan jago bela diri. Salah satu pekerjaan yang pernah digeluti
Mbah Rebo adalah sebagai seorang pekerja akrobat.
Mbah Rebo
bercerita sejak berusia belasan tahun atau setelah lulus dari Sekolah
Rakyat, dia menghabiskan waktunya untuk bertani membantu orangtua.
Beberapa tahun menjadi petani membuatnya bosan, karena menjadi petani
minim tantangan.
“Saya bosan menjadi petani. Jadi pengen mencoba hal baru. Dia mengaku awalnya
suka melihat pertunjukkan akrobat atau sirkus pun mulai belajar dan menimba ilmu dari orang yang pandai berakrobat,” ceritanya.
Dari
situ, dia mulai mempelajari ilmu berakrobat hingga direkrut oleh
kelompok sirkus yang ada di Madiun dan Magetan. Karena kondisinya yang
cacat itu, Mbah Rebo dalam pertunjukkan sirkus diberi tugas sebagai
pengendara sepeda kayuh tanpa tangan. Selain itu, Mbar Rebo juga
memperagakan penggunaan samurai yang diputar secara cepat di lehernya.
“Samurai panjang dan tajam saya taruh di leher dan secara cepat saya putar-putar,” ujar bapak yang memiliki lima anak itu.
Tidak
hanya itu, dia juga pernah memerankan sebagai orang yang dilindas
kendaraan bermotor seperti truk dan mobil. Pernah juga, dia memperagakan
sebutir telur yang ditaruh di pundak dan menjaga tetap utuh serta tidak
boleh jatuh.
“Saya dulu juga jago memanjat pohon kelapa dan
mengelupas kelapa tanpa alat. Saya hanya menggunakan gigi dan mengelupas
kelapa hingga pecah,” kata pria beristri dua ini.
Selama
mengikuti tim akrobat itu, kata Mbah Rebo, diA tidak hanya tampil di
daerah Madiun saja. Namun, dia pernah juga tampil di luar Jawa Timur,
seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, bahkan tampil di pulau
Sumatera.
Saat itu, dalam satu kali tampil, dirinya bisa
mendapatkan bayaran senilai Rp15.000. Bayaran tersebut biasanya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya dan untuk makan
dirinya saat bekerja.
Pekerjaannya sebagai akrobat dilakoninya
hingga puluhan tahun. Terakhir kali, dia beraksi di tim akrobat yaitu
pada tahun 2000-an di daerah Nganjuk. Itu menjadi kenangan termanis
sebelum dirinya pensiun dari pekerjaanya itu karena faktor usia.
“Saya
sekarang sudah tidak bisa melakukan akrobat itu lagi. Ilmunya sudah
hilang,” kata kakek-kakek yang rambutnya sudah beruban ini.
Kini
hidup Mbah Rebo sudah jauh dari hal-hal akrobat yang membahayakan itu.
Kini Mbah Rebo menjalani hidup di rumah dan berkumpul bersama keluarga
dan tetangga. (*)
Komentar