Menyoroti Pajak 10% Yang Dikenakan Kepada Pengusaha Kuliner di Kota Palembang

PALEMBANG, SriwijayaAktual.com –   Forum Komunikasi Paguyuban Kuliner Bersatu Palembang
(FK-PKBP) melakukan Konferensi Pers terkait Pajak 10% yang dikenakan
kepada pengusaha kuliner, di Jalan Malaka II Kenten, Kota  Palembang, Kamis (3/10/2019) sore. 
Ketua FK-PKBP H Idasril MH mengatakan Bagi FK-PKBP yang menaungi para pengusaha kuliner di Kota
Palembang,  setelah melakukan kajian terhadap perda No.  2/2018 tentang
Pajak daerah, khususnya Bab IV Pajak Restauran terdapat banyak
kerancuan definisi yang tidak jelas , sehingga sangat merugikan umumnya
para pengusaha kuliner.
” Tanggung jawab diberikan kepada pemkot dan pelaku
kuliner, tidak boleh serampangan atau tidak berkeadilan. Salah satu
contoh sudah diterapkan di salah satu kuliner seperti pecel lele, pihak
BPBD telah memberikan beberapa kemudahan, bahwa sdh memungut pajak
secara kolektif ” ujarnya.
Beberapa hal yang disoroti adalah sebagai berikut :

1. Definisi dan Klasifikasi Restaurant.

Perda No 2/2018, Bab ketentuan umum Pasal 1 ( 13 ) mendefisikan
restaurant secara umum,  yakni : ” Resraurant adalah fasilitas penyedia
makanan dan/atau minuman  dengan dipungut bayaran yang mencakup juga
rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan jasa boga/catering.
Definisi ini diturunkan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

Agara tercapai prinsip keadilan dalam membayar pajak,
diperlukan pengklasifikasian yang jelas.  Sementara dalam ketentuan
perda ini menyamaratakan antara satu jenis usaha kuliner dengan jenis
usaha kuliner lainnya seperti yang disebutkan dalan pasal 8 (3) yang
menyamakan definisi dengan rumah makan,hingga kaki lima/warung emperan.
2. Omset diatas Rp.  3.000.000,-
Pasal 8 (3) seharusnya angka (6). Hal ini menunjukan
kekeliruan pihak legilasi terhadap perda ini. Subtansi pasal ini adalah
menetapkan jumlah omset diatas Rp. 3.000.000,- sudah dikenakan beban
pajak.  Jika ditetapkan angka ini tentu akan memungut rata setiap
penjual kuliner dari setiap jenisnya, dari yang kecil hinghingga yang
besar.  Apalagi berdasarkan definisi point 1.
3. Ketetapan pajak 10%
Menurut undang undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2009 tentang
pajak daerah dan  retribusi daerah, Pasal 40 (1), tarif pajak restaurant
ditetapkan paling tinggi sebesar 10% ( sepuluh persen ). Artinya pajak
restaurant dapat ditetapkan melalui perda antara 0.1% – 10%. Namun perda
No 2/2018 ini menetapkan pajak 10%, tarif yang tertinggi.
4. Ketentuan pajak restaurant yang dibebankan pada konsumen.
Kami menilai bahwa pembebanan pajak restaurant ini adalah tidak tepat
untuk diterapkan pada setiap restaurant. Sebab segment pasar dari
restaurant juga berbeda.
“Di Mall yang berada dikawasan elit dan standar tertentu mungkin dapat
diterapkan karena konsumen dari segmennya kelas menengah keatas.

Namun pada tempat usaha Kuliner diperkampungan atau pinggiran kota,
standar manajemen pelayanan yang belum optimal, dan konsumen kelas bawah
tentu tidak tepat apabila konsumen dibebankan pajak apalagi mencapai
10%. Apabila masih diterapkan dikhawatirkan akan berdampak pada
penurunan omset usaha kuliner dan bukan tak mungkin tempat usaha kuliner
tersebut akan berakhir dengan pailit alias bangkrut. ( johan )
Spesial Untuk Mu :  'Maaf Pak Jokowi, Panjenengan yang Bikin Kerusakan'

Komentar